Jumat, 06 Januari 2012

Ke- Islam-an


Pada umumnya “Islam” dimengerti sebagai sebuah institusi agama dengan sekian ritual keagamaan yang dilakukan oleh para pemeluknya. Pengertian semacam ini, Islam sebagai sebuah institusi agama (organized religion) sebagaimana yang difahami oleh banyak orang, mengakibatkan makna Islam menjadi sangat eksklusif dan menutup ruang bagi institusi agama lain untuk memproklamirkan kebenaran agamanya dan ikut serta dalam kehidupan sosial-masyarakat. Bahkan bagi sebagian pemeluknya ada anggapan bahwa seseorang yang berada di luar institusi agama tertentu dianggap “musuh” dan “sesat”, karenanya harus diperangi dan diselamatkan.
   
      Padahal kalau kita melacak makna Islam yang terkandung dalam kitab suci Al Qur’an akan kita dapatkan makna yang lebih universal dan membuka ruang bagi bertemunya agama-agama (comment platform) serta kemungkinan dialog antar agama. Hal ini penting untuk menyatukan visi kemanusiaan dan keadilan sebagai upaya transformasi sosial.
    
      Di dalam Al Qur’an banyak dijumpai kata Islam yang menurut Djajaningrat berasal dari kata kerja aslama “menyerahkan dengan tulus hati” atau “mengikhlaskan”. Dalam pengertian ini kata Islam harus dibedakan antara Islam sebagai sikap jiwa seseorang dan Islam sebagai nama sebuah agama.                                 
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al Baqoroh : 112)

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. , (Jinn: 14)

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. , (Ali Imran:19)

 Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maidah : 3)   menegaskan arti tersebut.
     Terkait dengan pengertian Islam sebagai sikap jiwa seseorang, pemaknaan Islam yang lebih umum, menurut kata generiknya adalah pasrah, tunduk kepada Tuhan, yaitu suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar. Dasar semacam inilah sebagaimana pandangan Al Qur’an bahwa semua agama yang benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan.
Kata yang dekat dengan makna Islam adalah kata hanif yaitu condong atau cenderung. Islam dalam pengertian hanif inilah yang dianut dan mempunyai tali persambungan dengan ajaran nabi Ibrahim AS. Sedangkan Ibrahim sendiri tidak pernah mendakwahkan dirinya sebagai seseorang yang memeluk agama formal baik
Yahudi atau Nashrani. Ibrahim adalah seorang nabi yang tunduk dan patuh kepada Tuhan karenanya dia disebut ”ber-Islam”.
      Dengan demikian sikap pasrah dan tunduk adalah inti dari semua ajaran Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi. Hal ini menegaskan adanya titik temu agama-agama, meskipun nabi dan masa mereka berbeda-beda. Sebab semua yang benar itu berasal dari sumber yang sama dan semua para nabi membawa kebenaran ajaran yang sama. Perbedaan para nabi hanyalah dalam bentuk responsi khusus tugas seorang rasul pada tuntutan zamannya.
Islam dan Transformasi Sosial
Manusia sebagai hamba Allah SWT, diciptakan dengan maksud untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Penghambaan penuh atas nilai absolut Tuhan Yang Maha Esa juga atas ekosistem dan alam jagat raya, selain
itu manusia diwajibkan untuk melakukan komunikasi dan bersosialisasi dengan sesamanya dalam rangka untuk saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah atas kemungkaran.
Tugas berat yang diberikan untuk manusia tidak semata selesai di dunia saja, akan tetapi orientasi yang lebih tinggi adalah bagaimana manusia bisa hidup bahagia di akhirat kelak. Islam dalam konteks ini adalah sebagi penyelamat. Kepasrahan secara total atas ke-Maha Esa-an Tuhan pencipta alam semesta menjadi hal yang mutlak. Sebagai agama yang diturunkan untuk penyempurna atas agama-agama sebelumnya, Islam diharapkan bisa menjadi rambu dan pedoman bagi umat manusia dalam menjaga tatanan kehidupan di dunia ini sebagai bekal di
akherat (al Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih).
Keberadaan Islam pada konteks masa Nabi Muhammad SAW adalah sebagai seruan moral dalam memberantas kaum jahiliyah yang tidak lagi memperdulikan nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan besar agama Islam adalah menegakkan bagaimana agama Islam bukan hanya dimaknai sebagai ritualitas penghambaan an sich. Tauhid sebagai bentuk kepercayaan penuh atas Allah SWT baik dalam hati, lisan maupun tindakan. Tauhid selain itu sebagaimana yang dipaparkan Hasan Hanafi bahwa tauhid bagi umat manusia ini memiliki kesamaan status. Kesamaan status inilah yang seharusnya diperhatikan oleh umat manusia sehingga dalam realitas kehidupan bermasyarakat tidak ada saling tindas menindas. Suprioritas dan pengunggulan
diri berarti sama dengan menolak kesamaan status sebagai hamba Allah.
Islam sebagai agama yang memiliki nilai dalam menata dan menjadi rambu dalam umat manusia seharusnya tidak dijadikan landasan dalam melakukan perubahan di dunia. Memaknai Islam lebih dari konsteks untuk menyelesaikan sosial problem selain personal problem menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan dalam membangun kerukunan umat beragama, menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan, jadi Islam bukan semata untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dengan melalaikan persoalan masyarakat, selain itu umat Islam juga seharusnya lebih memperhatikan kehancuran ekosistem (ekologi) sebagai implikasi dari kekuatan kapitalisme dalam melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam. Mengembalikan kembali nilai-nilai
Islam dalam corak dialektika material. Disamping itu membangun kembali sensitifitas sosial dengan lebih mengaplikasikan nilai-nilai ketuhanan pada realitas nyata.
Dengan pemaparan diatas, melihat konteks Islam di Indonesia, maka corak dan karakter Islam Indonesia bukan Islam ala Arab, Pakistan dll. Islam sebagi agama rohmatan lil ‘alamin mengidealkan satu corak nilai Islam nusantara, sehingga antara nilai-nilai budaya lokal dan ajaran Islam tidak terjadi saling sandra, namun memberi warna tersendiri.